TELAH wafatlah Teungku Putroe Safiatuddin Cahya Nur Alam binti Tuanku Raja Ibrahim bin Sultan Muhammad Daodsyah, pada 21 Ramadhan 1439/6 Juni 2018, pukul 06.45 WITA di RS Kota Mataram, NTB. Cahya Nur Alam dimakamkan di kompleks Baperis, Banda Aceh, Aceh sekitar pukul 22.40 WIB, Rabu (6/6/2018).
Wafatnya Cahya Nur Alam mengingatkan kita kembali pada kakeknya, Sultan Alaidin Muhammad Daodsyah. Berikut kami kutip penuh yang diberitakan okezone.com beberapa waktu lalu.
Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1884–1939) memiliki andil dalam berdirinya Republik Indonesia. Ia mati-matian mempertahankan wilayah kekuasaannya agar tak jatuh ke tangan Belanda. Namun, jasanya kini nyaris terlupakan.
Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh terakhir yang berdaulat. Ia memimpin Kerajaan Aceh Darussalam saat perang berkecamuk. Sebagian besar usianya habis dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan Aceh. Meski tubuhnya ditawan, ia tak pernah mau melepaskan tanah airnya ke penjajah.
Guna mengenang sosok Sultan Muhammad Daud Syah dan jasanya, sejumlah komunitas peduli sejarah Aceh dalam beberapa tahun terakhir rutin menggelar acara haul atau mengenang hari mangkat Sultan di kompleks makam raja-raja Aceh di Banda Aceh.
Pamong budaya Komunitas Peubeudoh Sejarah, Adat, dan Budaya Aceh (Peusaba) Djamal Syarief mengatakan aksi itu dilakukan pihaknya secara sukarela untuk mengajak masyarakat terutama generasi muda mengenal sosok dan perjuangan Sultan.
“Kita berharap Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah diakui sebagai pahlawan nasional karena jasanya sangat besar terhadap Aceh dan berdirinya Indonesia,” ujar Djamal, beberapa waktu lalu.
Salah satu jasa Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah adalah tak menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Belanda, sehingga satu-satunya wilayah Nusantara yang tak pernah takluk ke Belanda saat itu adalah Aceh.
Dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda, pada 1949, Inggris menanyakan mana kawasan yang diklaim Indonesia yang masih bebas dari penaklukan Belanda? Tersebutlah Aceh.
“Semua peserta konferensi setuju dan mengakui Indonesia menjadi sebuah negara merdeka,” kata Djamal.
Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan putra Tuanku Cut Zainal Abidin. Ia cucu dari Sultan Alaidin Mansur Syah (1857–1870), raja ke-33 yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.
Sejarawan Aceh, Ramli A Dally (meninggal dunia pada Selasa 22 Mei 2018), mengatakan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah merupakan Sultan Aceh yang paling berat menghadapi cobaan. Sebab saat kepemimpinannya, Aceh berada dalam kondisi darurat akibat invansi Belanda.
“(Selama) 65 tahun berjuang sejak dalam hutan rimba bergerilya, lima tahun ditawan, 32 tahun dibuang keluar negaranya (Aceh) tanpa pernah menyerahkan sedikit pun negerinya kepada musuh,” kata Ramli, semasa hidupnya.
Ia mengatakan, satu per satu kerajaan di Nusantara takluk ke Belanda selama 200 tahun mereka menguasai Hindia Belanda. Tapi, Kerajaan Aceh tak pernah menyerahkan kedaulatannya sejak Belanda mengeluarkan maklumat perangnya terhadap Aceh pada 1873.
“VOC telah merampas 430 kerajaan kecil-kecil di Nusantara selama 200 tahun,” tutur Ramli, semasa hidupnya.
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri setelah takluknya Kerajaan Samudera Pasai sejak abad 15 Masehi. Pemimpin pertama Kerajaan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514–1530). Puncak kejayaannya berada pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607–1636).
Wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam mulai dari Sumatera hingga semenanjung Malaysia. Aceh, kala itu, masuk dalam lima besar kerajaan Islam terkuat di dunia, bersama Kesultanan Ottoman Turki, Kesultanan Syafawiyah di Persia, dan Kesultanan Moghul di India.
Kerajaan Aceh Darussalam juga pernah empat kali dipimpin oleh sultanah atau raja perempuan.
Saat Tuanku Muhammad Daud Syah masih bocah, Kerajaan Aceh Darussalam dalam kondisi genting akibat perang. Ia diangkat menjadi sultan ke-35 Aceh pada usia 7 tahun, menggantikan Sultan Alaidin Mahmud Syah yang mangkat karena terkena wabah penyakit kolera, pada 28 Januari 1874.
Saat itu Aceh sedang bergejolak menghadapi invansi Belanda yang sudah berhasil merebut Darul Dunia, Istana Kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Banda Aceh. Dikarenakan istana sudah diduduki Belanda, pusat pemerintahan Kerajaan Aceh pindah ke Indrapuri, Aceh Besar.
Tuanku Muhammad Daud Syah kemudian dikukuhkan sebagai Sultan Aceh dalam sebuah upacara kerajaan di Masjid Indrapuri, Aceh Besar, oleh Dewan Mangkubumi Kerajaan yang dipimpin walinya sendiri, Tuanku Hasyim Banta Muda. Usai dilantik, ia menyandang gelar Sultan Alaidin.
Karena usianya belum akil baliq, sultan tak langsung diberi kewenangan memerintah. Dia diwajibkan dididik dulu menguasai ilmu perang dan pemerintahan. Urusan pemerintahan dan negara dikendali Dewan Kesultanan.
Kabinet teras Kerajaan Aceh Darussalam saat itu di antaranya Teungku Chik di Tiro sebagai Menteri Perang (Warizul Harb); Teuku Umar selaku Laksamana (Warizul Bahri); dan Nyak Makam ditunjuk selaku panglima urusan Aceh bagian timur.
Perang masih terjadi di mana-mana. Pasukan Aceh tiada henti menyerang serdadu Belanda. Lewat pertempuran sengit di Montasik, Aceh Besar pada 1878, Belanda akhirnya menguasai benteng Montasik.
Karena lokasinya mulai dekat dengan konsentrasi musuh, dewan kesultanan akhirnya memutuskan agar pusat pemerintahan Kerajaan Aceh dipindah lagi dari Indrapuri ke Keumala, Pidie.
Selama 20 tahun, Keumala menjadi Ibu Kota Kerajaan Aceh. Sultan Alaidin Mahmud Syah yang sudah beranjak muda saat itu, mulai mengatur pemerintahan dan negara di Keumala.
Pasukan kerajaan Aceh terus memberi perlawanan kepada Belanda di berbagai wilayah. Karena tak mampu mengalahkan tentara Aceh, serdadu Belanda akhirnya menculik dua permaisuri sultan dan seorang putra mahkota, Tuanku Raja Ibarahim. Mereka disandera. Strategi itu dilakukan Belanda untuk memaksa Sultan Muhammad Daud Syah menyerah.
Saat ratu dan putra mahkota ditawan, pemimpin pasukan Belanda, Van Der Maaten, kemudian mengirim surat kepada Sultan Muhammad Daud Syah, untuk mengajaknya bermusyawarah di Sigli, Pidie, pada Januari 1903.
Sultan akhirnya menuruti ajakan musyawarah itu. Ia pun datang dengan beberapa pengawalnya. Celakanya, begitu sampai di tempat yang dituju, sultan dan pengawalnya langsung ditahan pasukan Belanda.
Sultan Muhammad Daud Syah dibujuk untuk menandatangani surat penyerahan kekuasaan Aceh kepada Belanda, tapi ia langsung menolaknya.
“Beliau merobek surat tersebut,” tulis Tim Alis Aceh dalam bukunya berjudul “Sejarah Singkat Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat”.
Sultan Muhammad Daud Syah lalu dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh sekarang) dan ditawan di sebuah rumah di kawasan Keudah. Di balik rumah tawanan itu, sultan masih mengatur strategi penyerangan terhadap markas-markas Belanda di Banda Aceh.
Sultan juga mengirim surat kepada Kaisar Jepang, meminta agar membantu pasukannya mengusir Belanda dari Aceh. Surat itu dikirim melalui perwakilan Jepang di Singapura.
Aksi sultan akhirnya tercium pihak Belanda. Van Heutz, pemimpin Belanda saat itu berang dan memutuskan mengasingkan Sultan Muhammad Daud Syah ke Maluku. Alih-alih sebagai tawanan perang, Sultan Muhammad Daud Syah malah disambut warga hangat di Ambon.
Menurut sejarawan Aceh, Abdurrahman Kaoy, saat diasingkan ke Maluku, Sultan Muhammad Daud Syah dianggap sebagai tamu kehormatan oleh Raja Samu-Samu yang berkuasa di sana. “Sultan kemudian mendakwahkan Islam, membawa syiar Islam di sana,” ujarnya.
Karena jatuh cinta dengan Islam dan tersentuh dengan merdunya bacaan Alquran Sultan Muhammad Daud Syah, kata Abdurrahman, maka beberapa keluarga Raja Samu-Samu kemudian bersedia masuk Islam.
“Belanda makin marah, akhirnya Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat diasingkan lagi ke Batavia (Jakarta sekarang),” tutur Abdurrahman Kaoy.
Saat ditawan di Batavia, kata dia, Pemerintah Belanda berulang kali meminta agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah menyerahkan kekuasaan Aceh secara resmi kepada Belanda. Tapi, Sultan tetap pada pendiriannya; menolak Aceh dikuasai Belanda.
Ia hanya menyerahkan tubuhnya ke Belanda, tapi tidak membiarkan harga diri dan kedaulatan negaranya takluk ke musuh. Sikap itu dipertahankan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah sampai ajal menjemputnya pada 6 Februari 1939. Ia mangkat dalam tawanan Belanda di Batavia dan dimakamkan di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur.
Pusaranya kini kerap tak terurus. Tak ada juga gelar pahlawan nasional untuk Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah.[]Sumber:okezone
Editor: THAYEB LOH ANGEN
Explanation: Step 1: Since both terms have the same radical part (√7), you can add the coefficients directly. Step 2: Add the coefficients of the radical part: 5 + 8 = 13. Step 3: Combine the result with the common radical part: 13√7.
Aceh Sultanate founder
High SchoolArts & HumanitiesHistory
The question assesses knowledge of the founder of the Aceh Sultanate and their role in establishing the sultanate's power and influence.
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar merupakan Sultan Aceh pertama yang melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan yang ada di Semenanjung Melayu. Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar adalah Sultan Aceh ketiga yang memerintah dari tahun 1537—1568 M. Dirinya berkuasa setelah Sultan Ali Mughayat Syah (1514—1528 M) dan Sultan Salahuddin (1528—1537 M). Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar disebut sebagai salah satu penguasa terkuat dalam sejarah Kesultanan Aceh. Pada masanya, kekuasaan yang dimulai oleh ayahnya berhasil diperkuat. Selain itu, Sultan Aceh yang berhasil menjalin hubungan diplomatic dengan Khilafah Turki Utsmani adalah Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar.
Pada masa Sultan Ali Mughayat Syah (Sultan Aceh Pertama), Kesultanan Aceh mulai melakukan perlawanan terhadap Portugis. Sepeninggalnya, tahta jatuh ke anak tertuanya, Sultan Salahuddin, di mana perlawanan Aceh terhadap Portugis mulai berkurang, bahkan hampir kalah. Menyadari situasi tersebut, Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar menggantikan posisi kakaknya dan memproklamirkan diri sebagai Sultan Aceh selanjutnya. Setelah resmi menjabat sebagai Sultan Aceh, Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar langsung mengerahkan armada perangnya untuk melawan Portugis di Malaka.
Hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah pemimpin Kesultanan Aceh Darussalam mengirim surat kepada Turki Utsmani yang dipimpin Sultan Sulaiman al-Qanuni. Di dalam suratnya, Sultan Alauddin Ri’ayat Syah menyampaikan bahwa Kesultanan Aceh Darussalam tidak memiliki perlindungan atau tempat mengadu selain kepada Kekhalifahan Turki Utsmani. Aceh Darussalam percaya seandainya Khalifah mengetahui mereka sedang berperang atas nama Allah melawan penjajahan, mungkin saja Khalifah akan membantu. Sebab menolong Islam adalah tanggungjawab Khalifah yang baik. Sultan Alauddin Ri’ayat Syah dalam suratnya juga menyampaikan, mengharapkan bantuan tentara, senjata dan ahli-ahli yang memiliki pengalaman perang dari Khilafah Turki Utsmani. Aceh Darussalam juga meminta bantuan agar Khalifah mengirim kuda-kuda terlatih dan para ahli untuk membangun benteng, membuat meriam dan kapal perang.
Namun, bantuan untuk Aceh Darussalam baru bisa dikirim oleh Sultan Selim II anak dari Sultan Sulaiman al-Qanuni. Karena saat surat permohonan bantuan dari Sultan Aceh Darussalam tiba di Khilafah Utsmani, Sultan Sulaiman al-Qanuni sedang berperang bersama pasukannya di Hongaria. Saat di Hongaria, Sultan Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia karena sakit. Pada tahun 1566 M, Sultan Selim II menggantikan kedudukannya. Selanjutnya Sultan Selim II membalas surat Sultan Alauddin Ri’ayat Syah.
Di dalam suratnya, dia menyampaikan Khilafah Utsmani menyiapkan 15 kapal perang kecil dan dua kapal perang besar. Selain itu, Khilafah Utsmani juga menyiapkan peluru meriam, peluru meriam kecil, bubuk mesiu, 300 kapak dan 300 sekop. Di dalam kapal ada kapten kapal, ahli senjata, prajurit, awak kapal, peralatan perang, senjata dan amunisi yang lengkap.
Gaji setahun untuk tentara sudah dibayar dan perbekalan gandum untuk setahun diangkut keatas kapal agar tidak kekurangan makanan selama perjalanan. Pimpinan utusan dari Turki Utsmani ini diserahkan ke Kurdoglu Hizir yang telah ditunjuk sebagai kapten dan Seraskier panglima perang pasukan militer yang dikirim ke Aceh Darussalam pada tahun 1568-1569 M. Bantuan tersebut menjadi bukti bahwa Kesultanan Aceh dan Khilafah Turki Utsmani memiliki sebuah hubungan yang begitu erat. Bukti lain yang menguatkan hubungan antara Kesultanan Aceh dan Khilafah di Turki adalah ditemukannya ratusan koin emas di Desa Gampong Pande, Aceh. Koin-koin tersebut bertuliskan nama Sultan Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahar berdampingan dengan Sultan Sulaiman I (KhalifahTurki Utsmani).
Ketua Yayasan Sultan Alaiddin Mansyursyah, Tuanku Warul Waliddin. [Foto: IST]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Penantian panjang pemugaran makam Sultan terakhir Aceh, yakni Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah yang berada di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur, akhirnya direalisasikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Senin (13/12/2021) kemarin, orang nomor satu di Kota Jakarta itu berziarah ke Makam Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah. Salah satu ihwal kedatangannya ialah untuk meresmikan pemugaran makam Sultan Aceh tersebut dan juga keluarganya.
Total ada tujuh makam keluarga Sultan Aceh yang dipugar oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan menggelontorkan anggaran sebanyak Rp2,1 miliar.
Ketua Yayasan Sultan Alaiddin Mansyursyah, Tuanku Warul Waliddin mengaku terharu dan bahagia dengan pemugaran makam dari sanak familinya.
"Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Swt karena momentum ini adalah momentum yang sangat langka. Dari 17 Gubernur DKI Jakarta, baru Pak Anies yang berhasil mewujudkan pemugaran makam Sultan Aceh," ujar Tuanku Warul Waliddin kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Selasa (14/12/2021).
Ia juga berterima kasih banyak kepada Gubernur Anies Baswedan. Karena, sejak awal pihaknya telah mendamba-dambakan pemugaran makam Sultan Aceh tersebut.
"Dulu kami sangat ingin makam ini dipugar oleh Pemerintah Aceh, namun Pemerintah Aceh belum ada upaya ke arah situ dan Alhamdulillah Pemerintah DKI Jakarta hari ini di bawah kepemimpinan Pak Anies bisa mewujudkannya. Kami dari nama keluarga sangat bersyukur," tutup Warul Waliddin yang juga seorang cicit Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah.